INHILKLIK.COM - Musim gugur 1980, ada keanehan tiba-tiba melanda kalangan homoseksual di Los Angeles, Amerika Serikat.
Banyak pria homoseksual di area itu tiba-tiba mengalami sakit yang tak bisa dijelaskan. Pria gay dilanda bentuk pneumonia yang jarang. Usut punya usut pneumonia itu disebabkan oleh sebuah jamur Pneumocystis carinii atau Pneumocystis jirovecii. Jamur ini menyerang sistem kekebalan tubuh gay sehingga membuat mereka lemah.
Dikutip dari Rutgers Today, Senin 5 Juni 2017, kondisi itu mengundang pakar imunologis Rutgers State University of New Jersey, Amerika Serikat, Michael Gottlieb, berdiskusi dengan pria homoseksual tersebut. Gottlieb mengecek lima gay dengan penyakit misterius tersebut.
Kemudian, Gottlieb bersama timnya menuliskan gejala kaum gay tersebut ke Center for Disease Control (CDC) pada 5 Juni 1981. Laporan tim Gottlieb diterbitkan pada newsletter CDC untuk kalangan profesional kesehatan, Morbidity and Mortality Weekly Report. Artikel itu berjudul 'Pneumocystis Pneumonia – Los Angeles'. Saat meneliti penyakit itu, Gottlieb merupakan asisten profesor kesehatan University of California Los Angeles.
Enam bulan kemudian, Gottlieb melanjutkan mengirim artikel di New England Journal of Medicine terkait dengan temuan penyakit misterius kaum gay itu. Dalam artikel baru itu, dia menunjukkan ada sebuah virus yang kemungkinan menjadi biang dari penyakit misterius tersebut. Temuan virus Gottlieb saat itu belum punya nama, baru dua tahun berselang, virologis mengidentifikasi apa yang diperkirakan Gottlieb. Identifikasi itu baru kemudian melahirkan nama AIDS.
"Dengan laporan pertama saya, epidemik AIDS terus mulai dan bergulir," kenang Gottlieb.
Temuannya atas epidemik AIDS itu mengubah hidupnya. Gottlieb yang selama ini menekuni bidang imunologi, kemudian menjadi aktif terilibat advokasi dan bekerja sama dengan komunitas terdampak AIDS.
"Karier saya berubah 90 derajat," ujarnya.
Gottlieb kemudian terus mengajari komunitas medis atas temuan awal epidemik ADIS tersebut. Dia menjadi figur sentral dalam edukasi penyakit baru itu. Apa yang ditemukan Gottlieb mendorong kebangkitan publik atas dampak AIDS.
Dikutip dari Ucsf, pada September 1983, virologis bernama Jay Levy mampu mengisolasi dan mengkarakterisasi virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia tersebut.
Sepanjang 1980-an, virus AIDS menyebar secara eksponensial. Penyakit ini tak hanya menular lewat kontak seksual tapi juga melalui penggunaan obat yang disuntikkan melalui pembuluh darah, sampai menular melalui transfusi darah. Pada dekade itu, virus HIV menyebar tanpa henti melalui jarum suntik.
Setelah virus AIDS teridentifikasi, maka ilmuwan saat itu mulai mencari cara terapinya. Pada 1987, muncul obat terapi HIV yang disebut AZT.
Keberadaan AZT memang membantu penanganan pasien AIDS, tapi ada efek sampingnya yang parah. Sebab saat itu, pasien harus minum obat tersebut tiap empat jam. Dengan pola pengobatan saat itu memang tak sempurna, pasien yang mengonsumsi itu tak mengalami kondisi yang konsisten.
Kendala lainnya, terapi AZT tergolong mahal, sementara sebagian besar penderita AIDS pada saat itu adalah golongan miskin dan pengangguran. Akibat tak optimalnya terapi AZT, CDC melaporkan pada 1991, satu juta warga AS telah terinfeksi AIDS.
Harapan datang pada 1996, dengan ditemukannya terapi antiretroviral (ART). Terapi ini dibilang sebagai titik balik.
Dengan terapi tersebut, pasien AIDS bisa mengembalikan sistem kekebalan tubuh berfungsi. Sehingga AIDS tak sengeri sebelumnya, dari penyakit yang pasti membuat mati penderitanya menjadi penyakit yang kronis.
"Kami mendekati pengobatan (AIDS) dengan harapan keberhasilan, beda dengan sebelum 1996 yang mana kami mendekati harapan kegagalan," ujar pakar dari UCSF, Paul Volberding, kala itu.
Meski sudah muncul terapi, tapi ADIS tetap masih menjadi momok mengerikan. Data UCSF menyebutkan, pada 2005 secara global 38,6 juta orang terinfeksi AIDS dan jumlahnya terus meningkat. (yan/viva)