INHILKLIK.COM - Saat menjabat menjadi presiden Amerika Serikat, Donald Trump memberlakukan perintah eksekutif yang melarang penduduk dari tujuh negara mayoritas muslim masuk ke AS dengan alasan melindungi negaranya dari kelompok teroris Islam radikal.
"Kami tidak menginginkan mereka di sini," katanya saat menandatangani perintah eksekutif tersebut pada Januari lalu, seperti dilansir dari laman Vox, Selasa (3/10/2017).
Namun, upaya Trump menghalang-halangi penduduk dari negara mayoritas Muslim datang ke AS tidak lantas membuat negaranya bebas dari serangan teror. Faktanya, delapan bulan sejak Trump menjabat, penduduk AS banyak yang terbunuh dalam beberapa insiden serangan.
Dalam insiden penembakan yang baru saja terjadi di Las Vegas, sebanyak 58 orang tewas sementara 500 lainnya terluka. Pelakunya bukanlah teroris muslim atau orang asing, melainkan pria AS yang tak ada hubungannya sama sekali dengan Islam.
Pelaku teror yang menembak penonton konser musik country di Mandala Bay itu diidentifikasi sebagai Stephen Paddock, seorang mantan akuntan yang juga memiliki usaha di bidang properti bernilai jutaan dolar. Paddock dilaporkan melakukan aksinya sendiri dan polisi memastikan dirinya tidak ada kaitannya dengan kelompok teroris manapun.
Di AS sendiri sebenarnya ancaman yang lebih besar bukan datang dari penyerang dengan label agama tertentu seperti pada umumnya atau biasa disebut ekstremis Islam, namun justru pria kulit putih.
Berdasarkan data dari penelitian kelompok pemikir non-partai di Washington DC, New America, dari tahun 2001 hingga 2015, penduduk AS lebih banyak dibunuh oleh ekstremis Sayap Kanan daripada oleh teroris Islam. Bahkan, teroris Islam radikal itu biasanya warga negara AS sendiri.
Dalam lima belas tahun terakhir, pelaku serangan teroris di AS yang mengatasnamakan Islam tidak berasal dari negara-negara yang penduduknya dilarang masuk ke AS. Malah, negara asal para pelaku serangan teror itu adalah AS sendiri.
Sebagai contoh, insiden penembakan di San Bernardino yang menewaskan 14 orang dilakukan oleh warga AS keturunan Pakistan. Sementara penembakan di klub malam Orlando yang menewaskan 49 orang dilakukan oleh warga AS keturunan Afghanistan.
Selain itu, pengebom di Boston yang menewaskan tiga orang merupakan warga etnis Chechnya yang datang ke AS dari Kyrgyzstan dan dibesarkan di Cambridge, Massachusetts.
Kemungkinan rata-rata orang AS terbunuh dalam serangan teroris di mana seorang imigran terlibat di dalamnya adalah satu dari 3,6 juta. Kebanyakan warga negara tersebut meninggal karena gaya hidup mereka sendiri atau karena kepemilikan senjata di mana seorang balita saja bisa menyalahgunakannya.
Dari sekian banyak kasus terjadi, pada dasarnya pandangan ekstremis dan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama, politik, atau sekedar rasa benci adalah sesuatu yang tidak hanya dilakukan oleh orang muslim, Arab, imigran atau kelompok tertentu saja. Ini merupakan sesuatu yang bisa dilakukan oleh siapa saja. (yan/merdeka)