Penduduk wilayah Oromia, Ethiopia. ©Katy Migiro/Reuters
INHILKLIK.COM - Tibebu Girma tak bisa mengambil risiko lebih lama lagi. Pria 30 tahun ini sangat mengkhawatirkan keselamatan keluarganya.
Tibebu, seorang petani di zona Qellem Wollega, wilayah Oromia, Ethiopia, selama ini hidup dari hasil menanam jagung dan menjualnya ke pasar tradisional di dekat desanya.
Tetapi rangkaian serangan mematikan terbaru yang menargetkan warga sipil etnis Amhara meyakinkannya, inilah saatnya berkemas dan pergi bersama istri dan anak laki-laki mereka yang masih bayi ke manapun yang lebih aman.
“Mereka bahkan tidak membedakan perempuan dan anak-anak,” kata Tibebu kepada Al Jazeera melalui telepon, dikutip Senin (22/3).
“Kami tidak aman di sini,” lanjutnya.
Sedikitnya 12 orang, termasuk anak tujuh tahun, dibacok sampai tewas dalam dua serangan keji pada 25 Februari di desa Boka dan Nehlu, bagian timur Oromia, seperti yang diceritakan sejumlah sumber kepada Al Jazeera. Di antara warga sipil yang terbunuh adalah paman Tibebu, Teshome Beyene dan Tadesse Muluneh, yang bekerja sebagai petani di area tersebut.
“Mereka bahkan tidak akan membiarkan kami sembuh,” kata Tibebu.
“Ada lagi pembunuhan di area yang sama pekan ini,” lanjutnya.
Menurut media pemerintah Ethiopia, 42 orang tewas dalam dua serangan berbeda pada 6 Maret dan 9 Maret yang menargetkan warga sipil Amhara di daerah Horo Guduru Waleg, Oromia.
Berlokasi sekitar 200 kilometer barat ibu kota Ethiopia, Addis Ababa, Horo Guduru Welega adalah kawasan yang dihuni orang yang datang dari kelompok etnis Oromo dan Amhara, yang jika digabungkan membentuk sekitar dua pertiga dari 110 juta populasi negara tersebut.
Sayd Hassen kehilangan istrinya, Mulu Mekonnen, juga tidak anaknya dan seorang keponakan yang keempatnya berusia antara 10 dan 15 tahun. Mereka ditembak mati bersama sedikitnya 20 orang lainnya ketika desa mereka Dachin Gefersa diserang pada 9 Maret.
“Keluargaku mengalami kebiadaban terburuk pada zaman di mana bahkan hak-hak binatang pun dihormati,” ujar Sayd (56).
“Apa kejahatan yang telah dilakukan anak-anakku? Menjadi Amhara berarti mengorbankan nyawa mereka.”
Sayd mengungkapkan, para pembunuh menggeledah rumah keluarganya dan mengambil pakaian, uang, dan hewan ternak. Dia saat ini berlindung di sebuah sekolah bersama ratusan orang lainnya yang juga telantar akibat serangan tersebut.
“Hidup sebagai seorang pengemis di manapun yang akan akan lebih baik daripada tinggal di sini,” ujarnya.
“Para pembunuh keluargaku masih berada di luar sana.”
Para korban menyalahkan pejuang dari kelompok separatis Tentara Pembebasan Oromo (OLA) atas pembantaian tersebut.
OLA adalah organisasi sayap bersenjata yang memisahkan diri dari Front Pembebasan Oromo (OLF), yang didirikan pada tahun 1970-an untuk memperjuangkan kemerdekaan etnis Oromos. Pada 2018, janji reformasi politik oleh Perdana Menteri Abiy Ahmed yang baru menjabat membuat OLF didekriminalisasi dan diizinkan untuk bergabung dengan partai politik. Tetapi negosiasi dengan OLA memburuk, dan OLA terpecah dari organisasi politik tersebut dan melanjutkan pertempuran.
Pemerintah Ehiopia menyalahkan mereka atas penculikan, pembunuhan para pejabat dan tindakan kejahatan lainnya di seluruh Oromia. OLA membantah berada di balik pembunuhan warga sipil dan justru menyalahkan mantan serdadu yang membelot dari kelompok mereka.
“Mereka (pejuang OLA) mudah dikenali dengan gaya rambut mereka,” kata seorang penduduk distrik Jardega Jarte yang meminta tak disebutkan namanya kepada Al Jazeera.
Gambar para pejuang kelompok itu yang diunggah ke media sosial biasanya menunjukkan pemuda berpakaian kamuflase dengan rambut gimbal.
“Mereka membunuh, mencuri, melakukan apa yang mereka suka dan tidak ada yang menghentikan mereka,” kata penduduk ini.
Penduduk menuduh Horo Guduru Welega dan pemerintah di zona tetangga mereka mengetahui masalah tersebut tetapi biasanya tidak mengambil tindakan, menutup mata terhadap penderitaan penduduk desa etnis Amhara.
“Kami telah memohon kepada mereka berkali-kali agar melakukan sesuatu dengan kondisi keamanan, tapi mereka tidak melakukan apapun,” kata Damtew Kassa, seorang petani yang tinggal di sebuah desa dekat daerah Shambu.
Sepupu Damtew, Kindeneh Gizachew (25), salah satu korban tewas dalam serangan 25 Februari di Nechlu. Tubuhnya dimutilasi telah ditemukan, lengannya terikat.
Damtew mengatakan yakin pihak berwenang berada di pihak penyerang.
“Polisi tidak muncul sampai setelah para penyerang pergi, atau kadang-kadang tidak muncul sama sekali,” ujarnya.
“Pemerintah tahu masalah ini. Tidak ada yang pernah ditangkapkan karena kejahatan ini.”
Tewodros Tirfe, ketua organisasi advokasi Amhara Association of America yang berbasis di Amerika Serikat yang mendokumentasikan pelanggaran hak di wilayah tersebut, sepakat dengan pandangan bahwa pemerintah regional memperburuk masalah.
“Ada indikasi jelas bahwa pejabat lokal terlibat dalam serangan itu,” katanya kepada Al Jazeera.
“OLA telah melakukan banyak pembantaian, baik sebelum pasukan keamanan tiba atau setelah mereka dan pemerintah daerah meninggalkan daerah tersebut. Ini menyiratkan ada kebocoran informasi atau semacam kolaborasi.”
Al Jazeera menghubungi kepala pemerintahan zona Horo Guduru Welega, Bekele Dechassa melalui telepon. Dia ditanyai terkait keluhan di daerah pemilihannya bahwa kepemimpinannya terlibat dalam pembunuhan baru-baru ini atau menutup mata terhadap serangan tersebut.
“Ini adalah tuduhan yang tidak berdasar,” bantahnya.
Namun Bekele juga tak mau membahas secara spesifik tentang tanggapan pemerintahannya terhadap tragedi baru-baru ini di wilayah kekuasannya.
Pemerintah federal menuduh para pemimpin bekas pemerintah daerah Tigray yang dipimpin oleh Front Pembebasan Rakyat Tigrayan (TPLF) Tigray, yang menjadi sasaran operasi militer akhir tahun lalu, merancang serangan terhadap warga sipil di seluruh negeri. Namun klaim ini tak disertai bukti.
“Dalam dua tahun terakhir, ada 113 insiden besar di mana nyawa-nyawa melayang dan bangunan dihancurkan,” ujar PM Abiy dalam pidatonya di parlemen pada November lalu.
“Memanfaatkan orang-orang di dalam dan upaya terkoordinasi, (TPLF) memastikan akan ada teror di seluruh negeri.”
Pada Desember tahun lalu, pasukan federal menangkap lima pejabat dari pemerintahan regional Benishangul-Gumuz di Ethiopia barat, yang dituduh memfasilitasi serangan terhadap warga sipil di wilayah itu.
Pada Januari, Komisi HAM Ethiopia merilis sebuah laporan menuduh pemerintah daerah lamban dalam menghadapi serangkaian serangan yang menargetkan etnis Amhara, menyusul pembunuhan musisi Ethiopia ternama dan ikon Oromo, Hachalu Hundessa pada 29 Juni.
Menurut laporan tersebut, para korban yang memohon bantuandiberitahu bahwa “atasan tidak memberikan perintah untuk campur tangan”.
Seorang penduduk di kota Dera yang dikutip laporan itu mengatakan, kontingen polisi yang terdiri dari 150 orang yang berbasis di kota itu berdiri diam pada malam tanggal 29 Juni, ketika para penyerang membunuh orang dan membakar rumah.
Meningkatnya kekerasan etnis dalam beberapa tahun terakhir telah menghancurkan komunitas etnis Amhara di bagian barat Ethiopia. Pada November, lebih dari 50 etnis Amhara dibantai di kompleks sekolah di Oromia barat. Pada 23 Desember, penyerang membunuh lebih dari 200 warga sipil dari etnis Amhara, Shinasha dan Oromo di wilayah tetangga Benishangul-Gumuz.
Menurut data PBB, kekerasan telah menyebabkan sedikitnya 100.000 orang mengungsi dari wilayah itu sejak Juli 2020.
“Politik etnis biasanya mengarah pada demonisasi minoritas ketika pejabat lokal saling berlomba untuk meningkatkan popularitas mereka dengan mengucilkan minoritas. Sistem tersebut karenanya mengorbankan yang lemah dan kelompok berbeda, dan mendorong narasi yang memicu kekerasan,” jelas Addisu Lashitew, peneliti di Brookings Institution.
“Mempertimbangkan hal ini, target pembunuhan puluhan minoritas Amhara di zona Horo Guduru seharusnya tidak mengejutkan,” tambahnya, menyerukan pengamanan hukum untuk melindungi minoritas selain memberikan mereka perwakilan politik.
“Sistem politik yang gagal dari prinsip dasar ini tidak jauh lebih baik daripada hukum rimba.”
Pada akhir 2019, ada lebih dari 1,4 juta orang telantar di seluruh Ethiopia, menurut Pusat Pemantauan Pengungsi Internal yang berbasis di Jenewa. Konflik Tigray telah memaksa ratusan ribu orang lainnya meninggalkan rumah mereka, sementara tren saat ini di Ethiopia barat yang dilanda kekerasan tampaknya akan memperburuk kesengsaraan populasi pengungsi internal yang sudah parah di negara itu.
“Sampai beberapa tahun yang lalu, di sini damai, tapi sekarang semuanya hancur,” kata Damtew bersedih.
“Sepupuku tinggal di sini selama sekitar satu dekade sebelum dia dibunuh. Kami tidak pernah mendengar ada masalah apapun dengan Oromo atau siapapun.”
Damtew sedang dalam proses memindahkan keluarganya ke wilayah tetangga Amhara di Gojam, dengan alasan bahaya yang semakin meningkat. Dia mengatakan banyak orang lain akan mengikutinya.
“Di desa saya, Amhara dan Oromo itu menikah. Saya berbicara dalam kedua bahasa, yang umum,” kata Faisal Ibrahim kepada Al Jazeera dari Bahir Dar.
Faisal melarikan diri dari Bereecha di Horo Guduru tahun lalu.
“Tapi untuk shene, itu tidak akan cukup,” kata pria berusia 30 tahun itu, menggunakan istilah yang biasa digunakan oleh beberapa orang Etiopia untuk merujuk pada OLA.
“Meskipun Anda berbicara dalam bahasa mereka, mereka akan tetap memegang ponsel Anda dan memeriksa apakah Anda mendengarkan musik Amharik atau Oromo. Hanya itu yang diperlukan bagi mereka untuk membunuh Anda.” (*)