|
Sarwan Kelana |
(Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Suska Riau.
Dan Pendiri Komunitas Pena Kelana Riau Asal Selat panjang Kab. Meranti )
Refleksi Tahun Baru 2014
Di Penghujung akhir tahun 2013, merupakan momen yang sangat menarik, berbagai cara di lakukan untuk merayakannya. Masing-masing merayakan dengan beragam perilaku, namun setiap usia punya cara memandang sendiri.
Untuk usia yang masih muda, baginya tahun baru 2014 adalah sesuatu momen yang mesti dirayakan dengan kemeriahan. pergi bersama teman sepanjang malam hingga pagi hari di tempat yang disepakati bersama. namun, bagi yang telah dewasa, tahun baru bisa dimaknai beragam, seperti menginstropeksi diri apa yang harus di lakukan untuk tahun yang akan datang.
Dalam perjalanan hari, minggu, bulan dan tahun makin berganti tak terasa kita sudah memasuki tahun baru Masehi 2014. Ini tentu menjadi bahan renungan bagi kita, ketika berada di tahun yang telah lalu, timbul satu pertanyaan bagi diri ini, kota ini dan negara ini apa yang harus diubah di tahun baru?
Di tahun baru ini ada yang mencoba melihat kesalahan-kesalahan yang dialami dan berpikir lagi ke depan apa yang mesti dilakukan, apakah akan tetap meneruskan apa yang dikerjakannya selama setahun ini atau mungkin selama lima tahun ini atau mungkin lebih dan ingin melakukan perubahan drastis di tahun mendatang.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun baru pertama kali dirayakan pada 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad VIII SM.
Dalam menciptakan kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teori boleh mengelakkan penyimpangan dalam kalender baru ini.
Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Julai. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, kaisar Augustus, menjadi bulan Agus.
Seperti kita ketahui, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil, pada tengah malam setiap 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, betik dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang Dewa Lemanja (Dewa Laut) yang terkenal dalam legenda di Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau syiling lapis emas dengan gambar Janus, Dewa Pintu dan semua permulaan.
Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristien. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari cuti umum nasional untuk semua warga dunia.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September.
Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut, termasuklah kita yang berada di Riau yang merayakan datangnya tahun baru masehi.
Perubahan yang Diharapkan
Perubahan itu penting, persoalannya adalah kekuatan apa dan siapa sesungguhnya yang bisa mengubahnya.
Siapapun bisa belajar dari guru, dosen, ustaz atau siapapun dan juga dari manapun asalnya. Seseorang bisa menambah dan memperkaya ilmu pengetahuan dari mana saja, sebagai bekal untuk melakukan perubahan.
Akan tetapi, ternyata perubahan itu tidak akan terjadi, jika dirinya sendiri tidak memiliki niat dan kemauan untuk berubah. Perubahan dan bahkan juga kekuatan pengubah itu ternyata bukan dari pihak lain, tetapi justru bersumber dari diri sendiri.
Penulis pernah mendapatkan kesimpulan dari sebuah buku motivasi, bahwa orang akan jarang mengalami kegagalan, kalau dia keras terhadap dirinya.
Penulis renungkan dalam-dalam tulisan itu, dan akhirnya membenarkan.
Alquran juga mengatakan: “Innallaha la yughoiyyiru ma bi qoumin hatta yughoyyiru ma bi anfusihim.” (Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mau mengubah diri atau jiwanya sendiri).
Akhirnya semangat perubahan itu memang harus ditumbuh-kembangkan, terutama dalam diri sendiri. Disamping itu pejabat dan rakyat juga harus memiliki azam untuk melakukan perubahan. Sesungguhnya karena mereka mampu melakukan perubahan pada diri atau kelompok yang bersangkutan.
Mereka memiliki semangat berubah, mengetahui ke arah mana perubahan itu harus dilakukan, mengerti cara dan jalan perubahan itu dilakukan, termasuk risiko tatkala melakukan perubahan itu, sehingga akhirnya mereka berhasil melakukan perubahan itu.
Kita tak boleh pernah berhenti berharap karena akhir tahun sesungguhnya awal dari sebuah tahun. Mudah-mudahan 2014 ini hidup kita jauh lebih baik bila dibandingkan 2013 yang berlalu. Harapan itu akan terwujud, jika kita sama-sama mau membuktikannya. Allahu a’lam.
(*)