Padang (Inhilklik) - Sepanjang 2012 sampai Agustus 2013 Lembaga
Bantuan Hukum Pers Padang mencatat ada 20 kasus kekerasan terhadap
wartawan. Rinciannya, sembilan kasus kekerasan fisik, empat kasus
ancaman kekerasan, tiga kasus perampasan dan perusakan alat liputan, dan
empat kasus pengusiran serta menghalang-halangi saat melakukan proses
peliputan.
PJs Direktur LBH Pers Padang, Roni Saputra mengatakan tahun 2013 mulai
Januari sampai Agustus bulan ini telah mencatat 14 kasus kekerasan
terhadap jurnalis yang terjadi di wilayah Sumatera.
“Dari 14 kasus tersebut, lima kasus kekerasan fisik, tiga kasus ancaman
kekerasan, satu kasus perampasan dan pengrusakan alat peliputan, tiga
kasus pelecehan terhadap profesi jurnalis dan dua kasus pengusiran dan
menghalang-halangi jurnalis melakukan proses peliputan,” ujarnya di
kantor LBH Pers Padang, jalan Andalas Raya, Rabu (21/8/2013)
Kata Roni, hasil pendataan dan pemantauan LBH Pers sepanjang tahun 2013
aktor pelaku dalam kasus pers didominasi oleh aparat penegak hukum, dari
14 kasus, 5 kasus diantaranya yang menjadi pelaku adalah anggota
Kepolisian, 2 kasus dengan pelaku adalah Kepala Daerah, 2 kasus
pelakunya warga sipil, 1 kasus pelakunya Pegawai Negeri Sipil, 3 kasus
pelakunya berasal dari kalangan pengusaha dan 1 kasus masih belum
diketahui.
“Dari sebaran pelaku ini terlihat Kepolisian sebagai aparat penegak
hukum yang seharusnya dapat memberikan contoh dalam penegakan hukum dan
mematuhi undang-undang, malah sebaliknya, menjadi pelaku yang paling
dominan,” ujarnya
Ia memberikan contoh kasus yang dialami oleh Nasrul Jamil (wartawan TV
One) di Kabupaten Indragiri Hilir ketika ia akan mengirimkan hasi
liputan ke Jakarta di sebuah warnet, pada saat itu ada data yang lupa ia
bawa dan meminta kepada pemilik warnet untuk tidak mematikan komputer
yang ia pakai, tiba-tiba terdengar suara makian yang ditujukan kepada
Nasrul dari orang yang kemudian diketahui bernama Ardi Suardi anggota
polisi berpangkat Brigadir Satu.
Tak puas dengan makian, Ardi menarik baju Nasrul dan mengajak duel,
karena dibiarkan oleh Nasrul, Polisi itu menerjang tubuh Nasrul dari
belakang dan melemparkan kaleng minuman hingga menyebabkan Nasrul
mengalami luka-luka.
Berbeda halnya di Sumatera Barat, pada 14 Juni 2013, karya foto milik
Iggoy Ketua Pewartawa Foto Indonesia (PFI) Sumbar yang juga fotografer
Antara dipergunakan oleh Pemerintah Kota Pariaman untuk pembuatan buku
“Pariaman dalam Lensa”.
“Tanpa meminta izin ataupun pemberitahuan kepada Iggoy sebagai pemilik
karya, bahkan Wali Kota Pariman menyebutkan penggunaan foto-foto itu
tidak melanggar ketentuan dalam UU Hak Cipta,” ujarnya.
Pada kasus kekerasan tersebut tahun 2012, Propinsi Sumatera Utara
menempati urutan teratas kasus pers yang terjadi di Wilayah Sumatera
dengan 6 kasus, dan pada posisi kedua terjadi di Riau dengan empat
kasus, di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan masing-masing terjadi tiga
kasus selama tahun 2012, di Propinsi Lampung tercatat dua kasus,
sedangkan Propinsi Aceh dan Kepri terjadi satu kasus, lain halnya di
Propinsi Jambi, Bengkulu dan Bangka Belitung, tidak satupun terjadi
kasus kekerasan, ancaman kekerasan, kriminalisasi terhadap pers selama
2012.
“Pada tahun 2013, terjadi peralihan peningkatan kasus pers di wilayah
Sumatera, hingga Agustus 2013 di Provinsi Riau tercatat telah terjadi
empat kasus Pers dan menempati urutan pertama kasus pers di wilayah
Sumatera,” katanya.
Untuk kasus-kasus yang terjadi pada 2013 pun tidak jauh berbeda,
beberapa kasus ditangani oleh aparat penegak hukum setelah mendapat
sorotan publik, salah satunya adalah kasus penodongan terhadap 8 orang
wartawan di Kota Padang. Polisi baru maksimal melakukan proses hukum
setelah beberapa kali kampanye dan datangnya Irwasum Mabes Polri ke
Mapolresta Padang.
“Hingga saat ini perlindungan hukum yang berikan oleh Negara bagi
jurnalis masih sebatas bunyi pasal di dalam Undang-undang, tak lebih
dari itu. Macetnya proses hukum juga terjadi karena pengaruh dan relasi
antara pelaku dengan pemilik perusahaan. Selagi redaksi tidak bebas dan
merdeka, maka selama itu pulalah kemerdekaan pers itu juga akan
terkungkung,” ujarnya.
Lanjut Roni hampir disetiap kasus kekerasan terhadap pers, pelaku maupun
instansi pelaku mengawali proses dengan mengajukan perdamaian.
Perdamaian dilakukan dengan harapan, kasus bisa ditutup, pelaku bisa
bebas kembali bertugas, setidaknya trend ini hampir terjadi
dikasus-kasus pers.
Misal pada 2012, kasus pemukulan wartawan oleh anggota marinir, TNI
mencoba melakukan upaya perdamaian, namun karena proses pengawalan kasus
yang dilakukan upaya damai akhirnya tidak menghentikan proses hukum,
begitupun dengan penganiayaan Letkol Robert Simanjuntak terhadap
jurnalis yang melakukan peliputan jatuhnya pesawat Hawk 200 milik TNI
AU, berbagai upaya perdamaian juga dilakukan. Dan tidak tertutup pada
kasus yang terjadi selama tahun 2013, upaya perdamaian itupun dilakukan,
dengan harapan proses hukum selesai.
Jurnalis dan perusahaan media, harus dapat memahami bahwa jika dalam
hukum upaya perdamaian itu tidak dikenal, apalagi delik pers tidak
termasuk dalam kategori delik aduan. Selain itu, dengan mengakomudir
proses perdamaian, maka dapat berakibat pada munculnya kasus-kasus pers
baru, karena pelaku akan berasumsi, setiap pemukulan dan penganiayaan
dan penghalang-halangan jurnalis tidak perlu ditebus dengan menjalankan
proses hukum, tetapi cukup dengan melakukan pendekatan dan perdamaian.
(okezone)